Jepang Dulu Bendera
Pascaperang hingga tahun 1999
Sejak Perang Dunia II, bendera Jepang dikritik karena keterkaitannya dengan kemiliteran negara tersebut pada masa lalu. Keberatan serupa juga diajukan pada lagu kebangsaan Jepang saat ini, Kimigayo.[14] Kesan terhadap Hinomaru dan Kimigayo mewakili perubahan umum dari sikap patriotik mengenai "Dai Nippon" – Jepang Raya – menjadi sikap pasifis dan anti-militer "Nihon". Karena pergeseran ideologi tersebut, bendera tersebut jarang dikibarkan di Jepang setelah masa perang meskipun pembatasan telah dicabut oleh SCAPJ pada tahun 1949.[35][43]
Ketika Jepang mulai membangun kembali negaranya secara diplomatis, Hinomaru digunakan sebagai alat politik di luar Jepang. Dalam kunjungan Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun ke Belanda, Hinomaru dibakar oleh warga Belanda yang menuntut agar mereka dipulangkan.[44] Di dalam negeri, bendera tersebut bahkan tidak digunakan dalam unjuk rasa terhadap Perjanjian Status Pasukan yang sedang dirundingkan antara AS dan Jepang. Bendera yang umumnya digunakan oleh serikat pekerja dan pengunjuk rasa adalah bendera merah untuk pemberontakan.[45]
Isu mengenai Hinomaru dan lagu kebangsaan Jepang diangkat kembali ketika Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1964. Sebelum Olimpiade, ukuran lingkaran matahari dari bendera tersebut diubah lebih kecil supaya tidak terlihat mencolok ketika sedang dikibarkan dengan bendera nasional lainnya.[35] Tadamasa Fukiura, seorang spesialis warna, memilih untuk mengatur lingkaran matahari tersebut dengan perbandingan dua banding tiga dari panjang bendera tersebut. Fukiura juga memilih warna bendera untuk Olimpiade Musim Panas 1964 serta Olimpiade Musim Dingin 1998 di Nagano.[46]
Pada tahun 1989, peristiwa kematian Kaisar Hirohito mengangkat kembali isu moral mengenai bendera nasional. Kaum konservatif merasa bahwa bendera tersebut dapat digunakan pada saat upacara tanpa membuka kembali luka lama sehingga memungkinkan mereka untuk menerima Hinomaru sebagai bendera nasional tanpa mempertanyakan maknanya.[47] Selama masa berkabung enam hari, bendera-bendera dikibarkan dalam keadaan setengah tiang atau disertai dengan kain hitam di seluruh Jepang.[48] Meskipun terdapat laporan mengenai pengunjuk rasa yang merusak Hinomaru pada hari pemakaman kaisar,[49] hak sekolah untuk mengibarkan Hinomaru dalam posisi setengah tiang tanpa syarat membawa kesuksesan bagi kaum konservatif.[47]
Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan disahkan pada tahun 1999, menetapkan Hinomaru dan Kimigayo sebagai simbol nasional Jepang. Pengesahan undang-undang tersebut berawal dari aksi bunuh diri Ishikawa Toshihiro, kepala SMA Sera di Sera, Hiroshima, yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan antara dewan sekolah dan para guru mengenai penggunaan Hinomaru dan Kimigayo.[50][51] Undang-undang tersebut merupakan salah satu undang-undang paling kontroversial yang disahkan oleh Diet sejak "Hukum mengenai Kerjasama untuk Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB dan Operasi Lainnya" pada tahun 1992, dikenal juga sebagai "Hukum Kerjasama Perdamaian Internasional".[52]
Perdana Menteri Keizō Obuchi dari Partai Demokratik Liberal (PDL) memutuskan untuk merancang undang-undang untuk menjadikan Hinomaru dan Kimigayo sebagai simbol resmi Jepang pada tahun 2000. Ketua Kabinet Sekretaris, Hiromu Nonaka, menginginkan undang-undang tersebut diselesaikan pada peringatan 10 tahun penobatan Kaisar Akihito.[53] Ini bukan pertama kalinya undang-undang dipertimbangkan untuk menetapkan kedua simbol sebagai resmi. Pada tahun 1974, dengan latar belakang kembalinya Okinawa ke Jepang pada tahun 1972 dan krisis minyak 1973, Perdana Menteri Tanaka Kakuei mengisyaratkan sebuah undang-undang yang disahkan untuk mengabadikan kedua simbol dalam hukum Jepang.[54] Selain menginstruksikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan dan menyanyikan Kimigayo, Tanaka ingin para pelajar mengibarkan bendera Hinomaru pada upacara pagi, dan untuk mengadopsi sebuah kurikulum moral berdasarkan elemen-elemen tertentu dari Perintah Kaisar tentang Pendidikan yang diumumkan oleh Kaisar Meiji pada tahun 1890.[55] Tanaka tidak berhasil meresmikan undang-undang melalui Diet pada tahun itu.[56]
Pendukung utama rancangan undang-undang tersebut adalah PDL dan Komeito (PPB), sementara penentangnya termasuk Partai Demokratik Sosial (PDSJ) dan Partai Komunis (PKJ), yang mengkaitkan kedua simbol tersebut dengan zaman perang. PKJ kemudian ditentang karena tidak membiarkan masalah tersebut diputuskan oleh publik. Sementara itu, Partai Demokratik Jepang (PDJ) tidak dapat menghasilkan konsensus partai mengenal hal tersebut. Presiden PDJ yang sekaligus calon perdana menteri Naoto Kan menyatakan bahwa PDJ harus mendukung rancangan undang-undang tersebut karena partai tersebut telah mengakui kedua simbol tersebut sebagai simbol Jepang.[57] Wakil Sekretaris Jenderal dan calon perdana menteri Yukio Hatoyama berpikir bahwa rancangan undang-undang tersebut akan menyebabkan perpecahan lebih lanjut di antara masyarakat dan sekolah umum. Hatoyama menyatakan untuk mendukungnya sementara Kan menyatakan untuk menentangnya.[53]
Sebelum pemungutan suara, terdapat seruan agar rancangan undang-undang tersebut dipisahkan di Diet. Profesor Universitas Waseda Norihiro Kato menyatakan bahwa Kimigayo merupakan isu terpisah yang lebih kompleks daripada bendera Hinomaru.[58] Upaya untuk menjadikan hanya Hinomaru sebagai bendera nasional oleh PDJ dan partai lainnya selama pemungutan suara ditolak oleh Diet.[59] Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan rancangan undang-undang tersebut pada 22 Juli 1999, dengan 403 berbanding 86 suara.[60] Legislasi tersebut diserahkan kepada Dewan Penasihat pada 28 Juli dan ditetapkan pada 9 Agustus. Legislasi tersebut disahkan menjadi undang-undang pada 13 Agustus.[61]
Pada 8 Agustus 2009, sebuah foto yang diambil pada rapat umum PDJ untuk Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat menunjukan sebuah spanduk yang digantung di langit-langit. Spanduk tersebut terbuat dari dua buah bendera Hinomaru yang dipotong dan dijahit membentuk lambang PDJ. Hal tersebut membuat marah PDL dan Perdana Menteri Taro Aso, mengatakan tindakan ini tidak dapat dimaafkan. Sebagai tanggapan, Presiden PDJ Yukio Hatoyama (yang memberi suara untuk Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan)[53] mengatakan bahwa spanduk itu bukan Hinomaru dan tidak boleh dianggap demikian.[62]
Disahkan pada tahun 1870, Proklamasi Perdana Menteri No. 57 memiliki dua ketentuan terkait bendera nasional. Ketentuan pertama mengenai siapa yang mengibarkan bendera tersebut dan bagaimana bendera tersebut dikibarkan, sementara ketentuan kedua mengenai bagaimana bendera tersebut dibuat.[7] Perbandingannya adalah tujuh satuan lebar dan sepuluh satuan panjang (7:10). Lingkaran merah, yang melambangkan matahari, dihitung sebagai tiga perlima dari lebar kerekan. Hukum tersebut menetapkan penempatan lingkaran tersebut pada bagian tengah, namun lingkaran tersebut biasanya ditempatkan seperseratus (1/100) dari kerekan.[63][64] Pada 3 Oktober pada tahun yang sama, peraturan mengenai desain dari bendera kapal sipil dan bendera kapal angkatan laut lainnya disahkan.[65] Untuk bendera kapal sipil, perbandingannya adalah dua satuan lebar dan tiga satuan panjang (2:3). Ukuran lingkaran matahari tetap sama, namun lingkaran tersebut ditempatkan seperduapuluh (1/20) dari kerekan.[66]
Ketika Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan disahkan, ukuran bendera sedikit berubah.[1] Keseluruhan rasio bendera tersebut diubah menjadi dua satuan lebar dengan tiga satuan panjang (2:3). Lingkaran merah bergeser ke bagian tengah, namun ukuran keseluruhan lingkaran tersebut tetap sama.[2] Latar belakang bendera tersebut berwarna putih dan bagian tengahnya adalah lingkaran merah (紅色, beni iro), namun corak warna yang tepat tidak didefinisikan pada undang-undang tahun 1999.[1] Satu-satunya petunjuk yang diberikan mengenai warna merah adalah warna tersebut memiliki teduhan yang dalam.[67]
Dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Jepang (sekarang Kementerian Pertahanan) pada tahun 1973 (Showa 48), spesifikasi mencantumkan warna merah bendera sebagai 5R 4/12 dan putih sebagai N9 dalam pembagian warna Munsell.[68] Dokumen tersebut diubah pada tanggal 21 Maret 2008 (Heisei 20) agar sesuai dengan konstruksi bendera dengan undang-undang saat ini dan memperbarui warna Munsell. Dokumen tersebut mencantumkan serat akrilik dan nilon sebagai serat yang dapat digunakan dalam konstruksi bendera yang digunakan oleh militer. Pada akrilik, warna merah adalah 5.7R 3.7/15.5 dan putih adalah N9.4; pada nilon ditetapkan 6.2R 4/15.2 untuk merah dan N9.2 untuk putih.[68] Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Pusat Asisten Pengembangan (PAP), warna merah untuk Hinomaru dan lambang PAP terdaftar sebagai DIC 156 dan CMYK 0-100-90-0.[69] Selama pembahasan mengenai Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan, terdapat saran mengenai penggunaan merah terang (赤色, aka iro) atau menggunakan satu dari kumpulan warna Standar Industri Jepang.[70]
Konflik awal dan Perang Pasifik
Penggunaan bendera nasional berkembang seiring dengan upaya Jepang membangun kekaisarannya, dan Hinomaru digunakan pada perayaan kemenangan Jepang atas Perang Tiongkok-Jepang Pertama dan Perang Rusia-Jepang. Bendera tersebut juga digunakan dalam situasi perang di seluruh negeri.[22] Sebuah film propaganda Jepang pada tahun 1934 menggambarkan bendera nasional asing sebagai rancangan yang buruk atau tidak sempurna, sementara bendera Jepang terlihat sempurna dari segala aspek.[23] Pada tahun 1937, sekelompok perempuan dari Prefektur Hiroshima menunjukan solidaritasnya terhadap tentara Jepang yang berperang di Tiongkok selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua, dengan memakan "hinomaru bento" yang berupa nasi (bidang putih) dengan umeboshi (bulatan merah) di tengahnya. Hinomaru bento menjadi simbol utama mobilisasi perang dan solidaritas Jepang terhadap tentaranya sampai tahun 1940-an.[24]
Kemenangan awal Jepang dalam Perang Tiongkok-Jepang mengakibatkan penggunaan kembali Hinomaru dalam perayaan. Bendera tersebut terlihat di tangan masyarakat Jepang selama parade berlangsung.[22]
Buku-buku selama zaman tersebut juga memiliki Hinomaru yang dicetak dengan berbagai slogan yang mengekspresikan pengabdian kepada kaisar dan negara. Patriotisme diajarkan sebagai kebajikan kepada anak-anak Jepang. Ungkapan patriotisme, seperti mengibarkan bendera atau menyembah kaisar setiap hari, adalah sebagian sifat dari "orang Jepang yang baik."[25]
Bendera Hinomaru merupakan alat imperialisme Jepang di wilayah Asia Tenggara yang diduduki selama Perang Dunia II: masyarakat diwajibkan mengibarkan bendera tersebut,[26] dan para pelajar menyanyikan Kimigayo ketika upacara pengibaran bendera pada pagi hari.[27] Bendera lokal diizinkan berkibar di beberapa wilayah seperti Filipina, Indonesia, dan Manchukuo.[28] [29][30] Di Korea yang merupakan bagian dari Kekaisaran Jepang, Hinomaru dan simbol lainnya digunakan untuk menyatakan bahwa orang Korea merupakan subjek kekaisaran.[31]
Bagi orang Jepang, Hinomaru merupakan "bendera matahari terbit yang menyinari kegelapan di seluruh dunia."[32] Bagi orang Barat, bendera tersebut merupakan salah satu simbol militer Jepang yang paling kuat.[33]
Hinomaru adalah bendera Jepang secara de facto selama Perang Dunia II dan masa pendudukan.[21] Selama pendudukan Amerika atas Jepang setelah Perang Dunia II, izin dari Panglima Tertinggi Sekutu diperlukan untuk mengibarkan Hinomaru.[34][35] Beberapa sumber memberi keterangan berbeda mengenai batasan penggunaan bendera Hinomaru; salah satunya menggunakan istilah "dilarang".[36][37] Meskipun pembatasannya dilakukan secara besar-besaran, pelarangan tidak dilakukan secara langsung.[21]
Setelah Perang Dunia II, sebuah bendera digunakan oleh kapal-kapal sipil Jepang yang berasal dari Lembaga Kendali Perkapalan Angkatan Laut Amerika Serikat untuk Armada Niaga Jepang.[38] Bendera yang dimodifikasi dari kode sinyal "E" tersebut digunakan dari September 1945 sampai pendudukan AS atas Jepang berakhir.[39] Kapal-kapal AS yang beroperasi di perairan Jepang menggunakan sebuah modifikasi bendera sinyal "O" sebagai bendera mereka.[40]
Pada 2 Mei 1947, Jenderal Douglas MacArthur mencabut larangan pengibaran Hinomaru di lapangan Gedung Parlemen Nasional, Istana Kekaisaran, tempat tinggal Perdana Menteri dan gedung Dewan Tertinggi dengan ratifikasi Konstitusi Jepang yang baru.[41][42] Pembatasan tersebut semakin dilonggarkan pada tahun 1948, ketika orang-orang diizinkan untuk mengibarkan bendera tersebut pada hari libur nasional. Pada Januari 1949, pembatasan dihapuskan dan setiap orang dapat mengibarkan Hinomaru setiap saat tanpa meminta izin. Akibatnya, sekolah-sekolah dan rumah-rumah bersemangat untuk mengibarkan Hinomaru hingga awal tahun 1950-an.[34]
Penggunaan dan kebiasaan
Ketika Hinomaru pertama kali diperkenalkan, pemerintahan meminta masyakarat untuk menyambut kaisar dengan bendera tersebut. Terdapat beberapa kebencian di antara orang Jepang atas bendera tersebut, sehingga memunculkan beberapa unjuk rasa. Butuh beberapa waktu sampai bendera tersebut dapat diterima di seluruh kalangan masyarakat.[19]
Selama Perang Dunia II dalam budaya Jepang, merupakan kebiasaan populer bagi teman, teman sekelas, dan kerabat dari seorang prajurit yang ditugaskan untuk menandatangani Hinomaru dan memberikan bendera tersebut kepadanya. Bendera tersebut juga digunakan sebagai jimat keberuntungan dan doa harapan agar prajurit tersebut kembali dari pertempuran dengan selamat. Salah satu istilah untuk kebiasaan tersebut adalah Hinomaru Yosegaki (日の丸寄せ書き).[76] Salah satu tradisinya adalah tidak ada tulisan yang boleh menyentuh lingkaran matahari.[77] Setelah pertempuran, bendera tersebut sering terlihat atau kemudian ditemukan pada prajurit Jepang yang meninggal. Beberapa bendera tersebut menjadi suvenir,[77] dan beberapa dikembalikan ke Jepang dan keturunan almarhum.[78]
Pada zaman modern, Hinomaru Yosegaki masih digunakan. Tradisi menandatangani Hinomaru sebagai jimat keberuntungan masih berlanjut, meskipun dengan cara yang terbatas. Hinomaru Yosegaki biasanya diperlihatkan pada acara-acara olahraga untuk memberi dukungan kepada tim nasional Jepang.[79] Contoh lainnya adalah ikat kepala hachimaki, yang berwarna putih dan memiliki lingkaran merah di tengahnya. Selama Perang Dunia II, frasa "Kemenangan Wajib" (必勝, Hisshō) atau "Tujuh Kehidupan" ditulis pada hachimaki dan dipakai oleh pilot-pilot kamikaze. Hal ini menunjukkan bahwa pilot tersebut bersedia mati untuk negaranya.[80]
Sebelum Perang Dunia II, semua rumah diminta untuk mengibarkan Hinomaru pada hari libur nasional.[21] Sejak masa perang, sebagian besar pengibaran bendera Jepang hanya sebatas dilakukan di gedung-gedung yang berkaitan dengan pemerintahan pusat dan daerah seperti balai kota, dan jarang terlihat di rumah pribadi atau gedung komersial,[21] namun beberapa orang dan perusahaan menganjurkan pengibaran bendera tersebut pada hari libur. Meskipun pemerintahan Jepang mendorong masyarakat dan penduduk untuk mengibarkan Hinomaru pada hari libur nasional, mereka tidak diwajibkan secara hukum untuk melakukannya.[81][82] Sejak Hari Ulang Tahun Kaisar ke-80 pada 23 Desember 2002, Perusahaan Jalur Kereta Api Kyushu mengibarkan Hinomaru di 330 stasiun.[83]
Dimulai pada tahun 1995, ODA menggunakan motif Hinomaru dalam lambang resmi mereka. Desain itu sendiri tidak dibuat oleh pemerintahan tetapi dipilih dari 5.000 desain yang diajukan oleh publik, namun pemerintahan berusaha meningkatkan visualisasi dari Hinomaru melalui paket bantuan dan program pengembangan mereka. Menurut ODA, penggunaan bendera tersebut merupakan cara yang paling efektif untuk melambangkan bantuan yang diberikan oleh orang-orang Jepang.[84]
Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh media arus utama, sebagian besar orang Jepang menganggap bendera Jepang sebagai bendera nasional bahkan sebelum disahkannya Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan pada tahun 1999.[85] Meskipun demikian, kontroversi terkait penggunaan bendera dalam acara sekolah dan media masih tetap ada. Contohnya, surat kabar liberal seperti Asahi Shimbun dan Mainichi Shimbun sering menampilkan artikel yang kritis terhadap bendera Jepang, yang mencerminkan spektrum politik pembacanya.[86] Bagi orang Jepang lainnya, bendera melambangkan waktu di mana demokrasi ditindas ketika Jepang masih menjadi sebuah kekaisaran.[87]
Pengibaran Hinomaru di rumah-rumah dan kantor-kantor juga diperdebatkan dalam masyarakat Jepang. Karena keterkaitan Hinomaru dengan aktivis uyoku dantai (sayap kanan), politik reaksioner, atau hooliganisme, beberapa rumah dan perkantoran tidak mengibarkan bendera tersebut.[21] Tidak ada persyaratan untuk mengibarkan bendera pada hari libur nasional atau acara-acara khusus. Kota Kanazawa, Ishikawa, yang mengusulkan rencana pada bulan September 2012 untuk menggunakan dana pemerintah untuk membeli bendera dengan tujuan mendorong warga untuk mengibarkan bendera pada hari libur nasional.[88] Partai Komunis Jepang secara vokal menentang bendera tersebut.
Persepsi negatif mengenai Hinomaru muncul di bekas koloni Jepang termasuk di Jepang itu sendiri, seperti di Okinawa. Salah satu contoh penting dalam hal ini adalah pada 26 Oktober 1987, seorang pemilik pasar swalayan Okinawa membakar Hinomaru sebelum dimulainya Festival Olahraga Nasional Jepang.[89] Seorang pembakar bendera, Shōichi Chibana, membakar Hinomaru tak hanya untuk menunjukan penentangan terhadap kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang dan kehadiran pasukan AS yang berkelanjutan, namun juga untuk mencegah pengibaran bendera tersebut di depan umum.[90] Insiden lain di Okinawa termasuk pengibaran bendera selama upacara sekolah dan para pelajar menolak untuk menghormati bendera tersebut karena dikibarkan dengan lagu Kimigayo.[22] Di ibu kota Naha, Okinawa, Hinomaru dikibarkan untuk pertama kalinya sejak kembalinya Okinawa ke Jepang untuk merayakan ulang tahun kota yang ke-80 pada tahun 2001.[91] Di Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Selatan yang pernah diduduki oleh Kekaisaran Jepang, pengadopsian Hinomaru secara resmi pada tahun 1999 disambut dengan reaksi dari Jepang bergerak ke sayap kanan dan juga sebuah langkah menuju re-militerisasi. Pengesahan undang-undang tahun 1999 juga bertepatan dengan perdebatan mengenai status Kuil Yasukuni, kerjasama militer AS-Jepang dan pembuatan program pertahanan rudal. Di negara-negara lainnya yang pernah diduduki Jepang, undang-undang tahun 1999 mendapat reaksi yang beragam atau diabaikan. Di Singapura, generasi tua tetap menaruh perasaan sakit hati terhadap bendera tersebut sementara generasi muda tidak memiliki pandangan yang sama. Pemerintahan Filipina tidak hanya percaya bahwa Jepang tidak akan kembali untuk melakukan militerisme, tetapi tujuan dari undang-undang tahun 1999 adalah untuk menetapkan dua simbol (bendera dan lagu kebangsaan) secara resmi dalam undang-undang dan setiap negara memiliki hak untuk membuat simbol nasional.[92] Jepang tidak memiliki hukum yang mengkriminalisasikan pembakaran Hinomaru, namun bendera asing tidak boleh dibakar di Jepang.[93][94]
Menurut protokol, bendera tersebut dikibarkan dari matahari terbit sampai matahari terbenam; kantor-kantor dan sekolah-sekolah diijinkan untuk mengibarkan bendera tersebut dari buka sampai tutup.[95] Ketika pengibaran bendera Jepang dan negara lain secara bersamaan di Jepang, bendera Jepang mengambil posisi kehormatan dan bendera negara tamu berkibar di sebelah kanannya. Kedua bendera harus berada pada tinggi yang sama dan ukuran yang sama. Ketika lebih dari satu bendera asing dikibarkan, bendera Jepang diatur dalam urutan abjad yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.[96] Ketika bendera tersebut menjadi tidak layak untuk digunakan, bendera tersebut biasanya dibakar secara tersendiri.[95] Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan tidak menentukan bagaimana bendera tersebut harus digunakan, namun setiap prefektur memiliki peraturan tersendiri mengenai penggunaan Hinomaru dan bendera-bendera prefektur lainnya.[97][98]
Bendera Hinomaru setidaknya memiliki dua gaya berkabung. Salah satunya adalah mengibarkan bendera tersebut dalam keadaan setengah tiang (半旗, Han-ki) yang umum di banyak negara. Kantor Kementerian Urusan Luar Negeri mengibarkan bendera setengah tiang ketika pemakaman yang dilakukan untuk pimpinan negara asing.[99] Gaya berkabung lainnya adalah membungkus ujung puncak tiang dengan kain hitam dan dan menempatkan pita hitam, yang dikenal sebagai bendera berkabung (弔旗, Chō-ki). Gaya ini berasal dari kematian Kaisar Meiji pada 30 Juli 1912, dan kabinet mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa bendera nasional harus dikibarkan dengan gaya seperti itu ketika Kaisar meninggal.[100] Kabinet memiliki kewenangan untuk mengumumkan pengibaran bendera nasional secara setengah tiang.[101]
Sejak akhir Perang Dunia II, Kementerian Pendidikan telah mengeluarkan pernyataan dan peraturan untuk mempromosikan penggunaan Hinomaru dan Kimigayo di sekolah-sekolah di bawah yurisdiksi mereka. Pernyataan ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1950, yang menyatakan bahwa mereka menginginkan penggunaan kedua simbol tersebut, walaupun tidak diharuskan. Keinginan ini kemudian diperluas untuk penggunaan kedua simbol tersebut pada hari libur nasional dan selama acara seremonial agar mendorong para pelajar memahami hari libur nasional dan untuk mempromosikan pertahanan pendidikan.[35] Dalam reformasi pedoman pendidikan pada tahun 1989, pemerintah yang dikendalikan PDL menuntut agar bendera harus digunakan dalam upacara sekolah dan penghormatan yang pantas harus diberikan kepada bendera tersebut dan Kimigayo.[102] Hukuman untuk para pejabat sekolah yang tidak mengikuti hal tersebut juga diberlakukan dengan reformasi 1989.[35]
Pedoman kurikulum 1999 dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan setelah pengesahan Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan yang menyatakan bahwa "pada upacara masuk dan kelulusan, sekolah harus mengibarkan bendera Jepang dan memerintahkan para pelajar untuk menyanyikan Kimigayo, mengingat pentingnya bendera dan lagu."[103] Selain itu, pernyataan kementerian terhadap pedoman kurikulum 1999 untuk sekolah dasar mencatat bahwa "mengingat kemajuan internationalisasi serta dengan dorongan patriotisme dan kesadaran menjadi orang Jepang adalah hal penting untuk memelihara sikap hormat anak-anak sekolah terhadap bendera Jepang dan Kimigayo untuk pertumbuhan mereka menjadi warga Jepang yang dihormati dalam masyarakat international."[104] Kementerian tersebut juga menyatakan bahwa jika pelajar Jepang tidak bisa menghormati simbol milik mereka sendiri, maka mereka tidak akan dapat menghormati simbol negara-negara lainnya.[105]
Sekolah-sekolah telah menjadi pusat kontroversi mengenai lagu kebangsaan dan bendera nasional.[36] Dewan Pendidikan Tokyo mewajibkan penggunaan lagu kebangsaan dan bendera tersebut pada acara-acara tertentu di bawah yurisdiksi mereka. Perintah tersebut memerintahkan guru-guru sekolah untuk melakukan penghormatan terhadap kedua simbol tersebut atau berisiko kehilangan pekerjaan mereka.[106] Sejumlah penentang menyatakan bahwa peraturan tersebut melanggar Konstitusi Jepang, namun Dewan telah berpendapat bahwa karyawan mereka memiliki kewajiban untuk mengajar para pelajar mereka bagaimana menjadi warga negara Jepang yang baik, karena sekolah merupakan lembaga pemerintah.[14] Sebagai tanda protes, sekolah-sekolah menolak untuk mengibarkan Hinomaru pada kelulusan sekolah dan sejumlah orang tua merusak bendera tersebut.[36] Para guru tidak berhasil mengajukan tuntutan pidana terhadap Gubernur Tokyo Shintarō Ishihara dan para pimpinan senior yang menyuruh guru-guru untuk melakukan penghormatan terhadap Hinomaru dan Kimigayo.[107] Setelah penentangan sebelumnya, Persatuan Guru Jepang menerima penggunaan bendera dan lagu kebangsaan tersebut, namun Persatuan Guru dan Staf Seluruh Jepang yang lebih kecil tetap menentang kedua simbol tersebut dan penggunaannya dalam sistem sekolah.[108]
Pasukan Bela Diri Jepang (PBDJ) dan Angkatan Darat Bela Diri Jepang menggunakan Bendera Matahari Terbit dengan delapan sinar merah yang memanjang ke arah luar, yang disebut Hachijō-Kyokujitsuki (八条旭日旗). Sebuah pembatas emas terletak pada sebagian sekitaran tepi.[3]
Sebuah varian terkenal dari desain lingkaran matahari adalah lingkaran matahari dengan 16 sinar merah dalam formasi bintang Siemens, yang juga secara historis digunakan oleh militer Jepang, khususnya Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Panji tersebut, yang dikenal dalam bahasa Jepang sebagai Jyūrokujō-Kyokujitsu-ki (十六条旭日旗), pertama kali diadopsi sebagai bendera perang pada 15 Mei 1870, dan digunakan hingga akhir Perang Dunia II pada tahun 1945. Bendera tersebut diadopsi ulang pada 30 Juni 1954, dan saat ini digunakan sebagai bendera perang dan panji angkatan laut dari Angkatan Darat Bela Diri Jepang (ADBDJ) dan Angkatan Laut Bela Diri Jepang (ALBDJ).[3] Karena terus digunakan oleh Tentara Kekaisaran Jepang, bendera ini memiliki konotasi negatif yang mirip dengan bendera Nazi di Tiongkok dan Korea.[109] ALBDJ juga memakai penggunaan panji penugasan. Panji tersebut pertama kali diadopsi pada tahun 1914 and diadopsi ulang pada tahun 1965, panji tersebut terdiri dari versi sederhana bendera angkatan laut di ujung kerekan, dengan warna putih di bagian lainnya. Rasio panji tersebut antara 1:40 dan 1:90.[110]
Angkatan Udara Bela Diri Jepang (AUBDJ), didirikan secara independen pada tahun 1952, hanya menggunakan lingkaran matahari biasa sebagai lambangnya.[111] Cabang militer tersebut merupakan satu-satunya cabang militer dengan lambang yang tidak memakai Standar Kekaisaran. Namun, cabang militer tersebut memiliki sebuah panji untuk dikibarkan di pangkalan dan selama parade. Panji tersebut dibuat pada tahun 1972, yang ketiga digunakan oleh AUBDJ sejak pembuatannya. Panji tersebut memiliki lambang cabang militer yang berada di tengah latar belakang yang berwarna biru.[112]
Meskipun bukan bendera nasional resmi, bendera sinyal Z memainkan peran utama dalam sejarah angkatan laut Jepang. Pada 27 Mei 1905, Laksamana Heihachirō Tōgō dari Mikasa mempersiapkan diri untuk menjalin hubungan dengan Armada Baltik Rusia. Sebelum Pertempuran Tsushima dimulai, Togo mengibarkan bendera Z diatas Mikasa dan menjalin hubungan dengan armada Rusia demi memenangkan Jepang dalam pertempuran tersebut. Pengibaran bendera dikatakan kepada kru sebagai berikut: "Nasib Kekaisaran Jepang tergantung pada pertempuran yang satu ini; semua tangan akan mengerahkan diri dan melakukan yang terbaik." Bendera Z juga dikibarkan pada kapal induk Akagi pada saat penyerangan Jepang di Pearl Harbor, Hawaii, pada Desember 1941.[113]
Dimulai pada tahun 1870, bendera-bendera dibuat untuk Kaisar Jepang (pada waktu itu Kaisar Meiji), Permaisuri, dan anggota keluarga kekaisaran lainnya.[114] Yang pertama adalah bendera kaisar yang dijadikan hiasan, dengan sebuah matahari yang ditempatkan di tengah pola artistik. Ia memiliki bendera yang digunakan di darat, di laut, dan ketika ia berada di kereta. Keluarga kekaisaran juga diberikan bendera untuk digunakan di laut dan di darat (satu untuk digunakan berjalan kaki dan satu bendera kereta). Bendera kereta tersebut berupa bunga seruni dengan satu warna, yang memiliki 16 kelopak, dan ditempatkan di tengah latar belakang satu warna.[65] Bendera tersebut dihentikan penggunaannya pada tahun 1889 ketika Kaisar memutuskan untuk menggunakan bendera berupa bunga seruni pada latar belakang berwarna merah. Dengan perubahan kecil pada nuansa warna dan proporsi, bendera yang diadopsi pada tahun 1889 tersebut masih digunakan oleh keluarga kekaisaran.[115][116]
Bendera kaisar saat ini adalah bunga seruni 16 kelopak yang berwarna emas dan berada di tengah latar belakang berwarna merah dengan ratio 2:3. Permaisuri menggunakan bendera yang sama, kecuali bentuknya yang berbentuk ekor walet. Putra mahkota dan putri mahkota menggunakan bendera yang sama, hanya saja dengan bunga seruni kecil dan garis putih di tengah bendera.[117] Bunga seruni dikaitkan dengan tahta Kekaisaran sejak kekuasaan Kaisar Go-Toba pada abad ke-12, namun tidak menjadi simbol tahta Kekaisaran secara eksklusif sampai tahun 1868.[114]
Tiap-tiap dari 47 prefektur di Jepang memiliki bendera yang menyerupai bendera nasional yang terdiri dari sebuah simbol, yang disebut mon yang ditempatkan dalam bidang satu warna (dengan pengecualian Ehime, yang menggunakan simbol dengan latar belakang dua warna).[118] Pada sejumlah bendera prefektur, termasuk Hiroshima, benderanya disesuaikan dengan spesifikasi mereka pada bendera nasional (rasio 2:3, mon ditempatkan di tengah dan ukurannya 3/5 dari panjang bendera).[119] Sejumlah mon menampilkan nama prefektur dalam karakter Jepang; sementara yang lainnya menampilkan penggambaran khas wilayah tersebut atau corak khusus lainnya dari prefektur tersebut. Contoh dari bendera prefektur adalah bendera Nagano, yang terdapat karakter katakana ナ (na) berwarna jingga yang terletak pada bagian tengah lingkaran putih. Salah satu interpretasi dari mon adalah simbol na yang memperlihatkan sebuah pegunungan dan lingkaran putih melambangkan sebuah danau. Warna jingga menunjukan matahari sementara warna putih menunjukan salju di wilayah tersebut.[120]
Kotamadya juga dapat mengadopsi benderanya sendiri. Desain bendera kota sama dengan bendera prefektur: mon pada latar belakang satu warna. Contohnya adalah bendera Amakusa di Prefektur Kumamoto: simbol kota terdiri dari karakter Katakana ア (a) dan dikelilingi oleh gelombang.[121] Simbol ini ditempatkan pada bagian tengah bendera berwarna putih, dengan rasio 1:1.5.[122] Lambang dan bendera kota tersebut diadopsi pada tahun 2006.[122]
Selain bendera-bendera yang digunakan oleh militer, beberapa desain bendera lainnya terinspirasi dari bendera nasional. Bekas bendera Japan Post yang terdiri dari Hinomaru dengan garis horizontal berwarna merah yang ditempatkan di tengah bendera tersebut. Terdapat pula sebuah cincin tipis berwarna putih di sekitar matahari merah. Bendera tersebut kemudian digantikan oleh bendera yang terdiri dari tanda pos 〒 berwarna merah pada latar belakang berwarna putih.[123]
Dua bendera nasional lainnya dirancang menyerupai bendera Jepang. Pada tahun 1971, Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan, dan negara tersebut mengadopsi sebuah bendera nasional yang memiliki latar belakang berwarna hijau, dengan lingkaran merah pada bagian tengahnya yang terdapat sebuah peta Bangladesh berwarna emas. Bendera saat ini, yang diadopsi pada tahun 1972, menghilangkan peta berwarna emas tersebut dan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Pemerintahan Bangladesh secara resmi memakai lingkaran yang secara keseluruhan berwarna merah;[124] warna merah melambangkan darah yang ditumpahkan saat mendirikan negara mereka.[125] Negara pulau Palau menggunakan bendera dengan desain yang serupa, namun skema warnanya sangat berbeda. Namun Pemerintahan Palau tidak menyebut bendera Jepang sebagai pengaruh pada bendera nasional mereka walaupun Jepang sempat menduduki Palau dari tahun 1914 sampai tahun 1944.[126] Bendera Palau terdiri dari bulan purnama berwarna kuning emas yang berada di tengah latar belakang berwarna biru langit.[127] Bulan tersebut menandakan perdamaian dan negara baru sementara latar belakang berwarna biru memperlihatkan transisi Palau menuju pemerintahan sendiri dari tahun 1981 sampai tahun 1994, ketika berusaha mencapai kemerdekaan penuh.[128]
Panji angkatan laut Jepang juga mempengaruhi desain bendera lainnya. Salah satunya adalah desain bendera yang digunakan oleh Asahi Shimbun. Pada bagian bawah kerekan, seperempat matahari ditampilkan. Karakter kanji 朝 ditampilkan pada bendera tersebut, berwarna putih, menutupi sebagian besar matahari. Sinar memanjang dari matahari, dalam urutan merah dan putih bergantian, yang berjumlah 13 buah garis.[129][130] Bendera ini biasanya terlihat pada Kejuaraan Bisbol Sekolah Menengah Atas Nasional, dengan Asahi Shimbun sebagai sponsor utama turnamen tersebut.[131] Bendera pangkat dan panji Angkatan Laut Kekaisaran Jepang juga didasarkan pada desain panji angkatan laut.[132]
Jakarta - Deretan potret menarik berikut ini menggambarkan kondisi Jepang, dulu dan sekarang, yang ternyata walaupun jauh berbeda, tetap terlihat tertib. Indonesia bisa?
Jakarta - Deretan potret berikut menggambarkan kondisi Jepang, dulu dan sekarang, yang ternyata walaupun jauh berbeda, ada yang tak berubah. Yaitu tetap terlihat tertib.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Hanya orangTanpa orang
PotretSeluruh tubuhProfilPotret lebih lebar
Puri Citra Rungkut Blok G-11
Gunung Anyar, Surabaya 60294
Phone/WA: 0878-7583-8289
Email. [email protected]
Senin - Jumat 09.00-18.30 / Sabtu 09.00-15.00
Lukisan foto karya Kozaburo Tamamura yang berusia lebih dari 1 abad, menggambarkan keindahan Jepang
Lukisan foto karya Kozaburo Tamamura yang berusia lebih dari 1 abad, menggambarkan keindahan Jepang
Sebuah koleksi dari foto lukisan tangan berusia lebih dari 100 tahun menarik perhatian masyarakat Jepang baru –baru ini, dengan keindahan dan originalitasnya. Foto lukisan tangan yang diambil oleh fotografer terkenal, Kozaburo Tamamura pada awal abad ke-20 adalah gambar pertama yang digunakan untuk mempromosikan Jepang kepada dunia.
Beberapa foto menampilkan nuansa keindahan dari kehidupan sehari-hari. Tamamura adalah seorang fotografer pada masa periode Meiji (1868 – 1912) ditugaskan oleh salah satu penerbit dari Amerika Serikat untuk membuat foto-foto tersebut. Pemandangan dan nuansa yang dipilih untuk menarik orang asing ratusan tahun lalu masih memiliki pesona magis yang sama hari ini.
Foto – foto yang usia lebih dari 100 tahun namun budaya unik, sejarah dan keindahan alami Jepang masih menjadikan daya tarik wisatawan asing untuk datang. Meski kemajuan teknologi foto yang ada di abad 21, namun tetap sulit bersaing dalam hal sentuhan personal dari foto lukisan tangan.
Berikut foto – foto karya dari Kozaburo Tamamura:
Bendera nasional Jepang adalah sebuah bendera berbidang putih dengan lingkaran merah tua di tengahnya. Bendera ini secara resmi disebut Nisshōki (日章旗, "bendera matahari"), namun secara umum dikenal sebagai Hinomaru (日の丸, "lingkaran matahari").
Bendera Nisshōki ditetapkan sebagai bendera nasional dalam Undang-Undang mengenai Bendera Nasional dan Lagu Kebangsaan, yang diumumkan dan mulai berlaku pada 13 Agustus 1999. Meskipun tidak terdapat undang-undang yang menetapkan bendera nasional sebelumnya, bendera matahari telah menjadi bendera nasional Jepang secara de facto. Dua proklamasi dikeluarkan pada tahun 1870 oleh Daijō-kan, badan pemerintahan pada awal Zaman Meiji, yang masing-masing memiliki ketentuan mengenai rancangan bendera nasional. Bendera matahari dipakai sebagai bendera nasional untuk kapal-kapal dagang menurut Proklamasi No. 57 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Februari 1870), dan sebagai bendera nasional yang digunakan oleh Angkatan Laut menurut Proklamasi No. 651 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Oktober 1870). Penggunaan Hinomaru sangat dibatasi selama awal pendudukan sekutu di Jepang setelah Perang Dunia II; pembatasan ini kemudian dilonggarkan.
Pada awal sejarah Jepang, motif Hinomaru digunakan pada bendera daimyo dan samurai. Menurut sejarah kuno Shoku Nihongi, Kaisar Mommu menggunakan bendera yang melambangkan matahari di istananya pada tahun 701, dan peristiwa tersebut merupakan catatan pertama tentang penggunaan bendera bermotif matahari di Jepang. Bendera tertua yang masih ada disimpan di kuil Unpō-ji, Kōshū, Yamanashi, yang dibuat sebelum abad ke-16, dan sebuah legenda kuno menceritakan bahwa bendera itu diberikan pada pihak kuil oleh Kaisar Go-Reizei pada abad ke-11.[4][5][6] Selama Restorasi Meiji, bendera lingkaran matahari dan Bendera Matahari Terbit dalam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menjadi simbol utama bagi Kekaisaran Jepang. Poster propaganda, buku, dan film menggambarkan bendera tersebut sebagai sumber kebanggaan dan patriotisme. Pada rumah-rumah Jepang, masyarakat diwajibkan untuk mengibarkan bendera tersebut selama hari libur nasional, perayaan, dan hari-hari tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Persepsi masyarakat berbeda-beda terhadap bendera nasional tersebut. Bagi sebagian orang Jepang, bendera tersebut melambangkan Jepang, dan tidak ada bendera lain yang dapat menggantikannya. Namun, bendera tersebut tidak sering dikibarkan di Jepang karena hubungannya dengan ultranasionalisme. Penggunaan bendera dan lagu kebangsaan Kimigayo menjadi topik perdebatan di sekolah-sekolah Jepang sejak akhir Perang Dunia II (Perang Pasifik). Perselisihan tentang penggunaan bendera tersebut menyebabkan protes dan tuntutan hukum. Bagi orang Okinawa, bendera tersebut merepresentasikan peristiwa Perang Dunia II dan pendudukan tentara Amerika Serikat. Bagi beberapa negara yang pernah diduduki oleh Jepang, bendera tersebut merupakan simbol agresi dan imperialisme. Hinomaru digunakan sebagai alat untuk melawan negara-negara pendudukan untuk tujuan intimidasi, menegaskan dominasi Jepang, atau penaklukan. Meskipun berkonotasi negatif, sumber-sumber dari Barat dan Jepang mengklaim bahwa bendera tersebut merupakan simbol yang kuat dan abadi bagi Jepang. Beberapa panji-panji militer Jepang didasarkan pada Hinomaru, termasuk panji angkatan laut yang bermotif matahari terbit. Hinomaru juga berfungsi sebagai pola acu bagi bendera Jepang lainnya yang digunakan untuk penggunaan umum dan pribadi.
Asal mula keberadaan Hinomaru tidak diketahui secara pasti,[7] namun tampaknya matahari terbit memiliki beberapa makna simbolis sejak awal abad ke-7. Pada tahun 607, sebuah korespondensi resmi yang dimulai dengan "dari kaisar matahari terbit" dikirim kepada Kaisar Yang dari Sui di Tiongkok.[8] Jepang sering disebut sebagai "negeri matahari terbit".[9] Dalam karya sastra pada abad ke-12, Heike Monogatari, tertulis bahwa Samurai membawa kipas yang bergambar matahari.[10] Salah satu legenda yang terkait dengan bendera nasional dikaitkan dengan biksu Nichiren. Konon, selama invasi Mongol ke Jepang pada abad ke-13, Nichiren mempersembahkan bendera matahari tersebut kepada seorang shogun yang berupaya mematahkan serangan bangsa Mongol.[11] Matahari juga memiliki kaitan erat dengan keluarga kaisar Jepang, karena legenda menyatakan bahwa takhta kekaisaran diturunkan dari Amaterasu, sang dewi matahari.[12][13]
Salah satu bendera Jepang tertua disimpan di kuil Unpo-ji di Prefektur Yamanashi. Legenda mengatakan bahwa bendera tersebut diberikan oleh Kaisar Go-Reizei kepada Minamoto no Yoshimitsu, yang diperlakukan sebagai harta keluarga oleh klan Takeda selama 1000 tahun,[14] dan setidaknya telah ada jauh sebelum abad ke-16.
Catatan terawal tentang bendera-bendera yang ada di Jepang berasal dari masa penyatuan Jepang pada akhir abad ke-16. Bendera-bendera tersebut dimiliki oleh masing-masing daimyo dan pada umumnya dikibarkan dalam pertempuran. Sebagian besar berupa pataka atau panji-panji yang menampilkan mon (lambang keluarga) dari daimyo yang bersangkutan. Setiap anggota keluarga—misalnya putra, ayah, dan saudara—juga memiliki bendera masing-masing yang dibawa ke medan perang. Bendera-bendera tersebut digunakan sebagai sarana pembeda, dan dipasang pada kuda serta punggung para prajurit. Para jenderal juga memiliki benderanya sendiri, yang sebagian besar berbeda dengan bendera para prajurit karena bentuknya persegi.[15]
Pada tahun 1854, selama keshogunan Tokugawa, kapal-kapal Jepang diperintahkan untuk mengibarkan Hinomaru untuk membedakan diri mereka dengan kapal-kapal asing.[10] Sebelumnya, bendera Hinomaru dengan desain berbeda-beda dikibarkan pada kapal-kapal yang berdagang dengan Amerika dan Rusia.[7] Hinomaru ditetapkan sebagai bendera perdagangan Jepang pada tahun 1870, dan merupakan bendera nasional resmi dari tahun 1870 hingga 1885, menjadikannya bendera nasional pertama yang diadopsi Jepang.[16][17]
Meskipun gagasan mengenai lambang nasional terdengar asing bagi orang Jepang, Pemerintah Meiji membutuhkannya untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Lambang nasional menjadi sangat penting setelah pendaratan Komodor AS Matthew Perry di Teluk Yokohama.[18] Kemudian Pemerintah Meiji menetapkan simbol nasional lainnya sebagai identitas bangsa Jepang, termasuk lagu kebangsaan Kimigayo dan segel kekaisaran.[19] Pada tahun 1885, semua peraturan sebelumnya yang tidak diterbitkan dalam Lembaran Negara Jepang dihapuskan.[20] Berdasarkan keputusan kabinet baru tersebut, Hinomaru adalah bendera nasional secara de facto karena tidak ada peraturan yang menggantikannya setelah Restorasi Meiji.[21]